HomeDeklarator Perdamaian Usul Poso Ganti Nama
Deklarator Perdamaian Usul Poso Ganti Nama
Rabu, 31 Oktober 2012
Koransulteng.com -- Sofyan Farid Lembah, salah seorang mantan deklarator perdamaian Poso, Sulawesi Tengah, mengusulkan nama Kabupaten Poso diganti. Pasalnya, nama tersebut berkonotasi negatif dan sudah dikenal buruk di dunia internasional.
"Dari segi bahasa daerah Bugis, Kaili, maupun Pamona, nama Poso itu konotasinya kurang baik. Kurang memberi semangat. Apalagi namanya sudah dikenal di dunia internasional karena kerusuhan beberapa tahun lalu," kata Sofyan di Palu, Sulteng, Rabu (31/10).
Menurut Sofyan, kata Poso dalam bahasa daerah Bugis mengandung arti hosa, kelelahan atau lesuh. Sementara dalam bahasa Kaili, Poso artinya pecah. Demikian halnya dalam bahasa Dampelas, Poso artinya pecah.
Sofyan mengatakan, meskipun perubahan nama tersebut mengandung konsekuensi pada perubahan undang-undang pembentukan Kabupaten Poso, tetapi jika itu menjadi keinginan masyarakat tidak menjadi hambatan bagi DPR untuk mengubah undang-undang tersebut.
Selain mengandung arti kurang memberikan motivasi, nama Kabupaten Poso juga sudah buruk di mata dunia akibat konflik berbau agama yang menewaskan banyak orang pada 2008 dan 2010. Nama Poso belakangan juga kembali buruk akibat aksi teror berupa penembakan misterius, pembunuhan polisi dan disebut sebagai tempat persembunyian serta tempat latihan kelompok teroris.
Sofyan mengatakan, meskipun Poso berkonsekuensi pada hilangnya sejarah, tetapi perubahan nama itu sendiri bagian dari sejarah. Dia mengatakan, pergantian nama Kabupaten Poso tersebut sangat tergantung dari masyarakat dan pemerintah daerah setempat.
"Soal nama itu bisa disayembarakan. Tetapi setidaknya sudah ada nama yang melekat di daerah itu yakni Sintuvu Maroso," katanya.
Saat ini kata Sofyan sudah berdiri sebuah perguruan tinggi di Poso bernama Universitas Sintuvu Maroso (Unsimar). Ia mengatakan dalam tradisi kehidupan masyarakat biasa berlangsung pergantian nama jika seseorang sering sakit-sakitan. Setelah namanya diganti yang bersangkutan kemudian hidup dan tumbuh sehat.
Aktivis budaya dari Universitas Tadulako Palu, Hapri Ika Poigi, berpendapat usulan Sofyan Lembah tersebut perlu menjadi pertimbangan jika itu gagasan secara kolektif dari masyarakat Poso. "Jika itu tuntutan kolektif maka perlu dikomunikasikan secara bersama. Jika dari segi bahasa nama Poso itu mengandung arti kurang baik maka perlu diwacanakan," kata Hapri.
Alumnus Universitas Gadja Mada itu mengatakan, jika pertimbangan tradisi menjadi sesuatu yang bisa diyakini bersama dapat membentuk identitas komunitas tidak ada salahnya perubahan nama itu dilakukan. Hapri mengatakan, nama lain yang cukup akrab dengan Poso selama ini adalah Sintuvu Maroso. Nama ini kata Hapri merupakan konsep hidup bersama yang pas untuk Kabupaten Poso.
Hapri mengatakan, wacana ini tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang mutlak, sebab bisa menimbulkan reaksi dari tokoh-tokoh adat maupun tokoh masyarakat Poso. Kabupaten Poso yang mempunyai luas wilayah sebesar 7.897 kilometer persegi itu menjadi afdeeling dari Sulawesi Tengah pada 2 Desember 1948, yakni Afdeeling Poso dengan ibu kota di Poso dan afdeeling Donggala di Palu.
Pada 1952, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 33/1952 tentang Pembentukan Daerah Otonom Sulteng terdiri dari onder afdeeling Poso, Banggai dan Kolonodale dengan ibu kota Poso. Pada 1959 berdasarkan UU Nomor 29/1959 daerah otonom, Poso dipecah menjadi dua bagian yakni Poso dan Kabupaten Banggai.(Ant/BEY)
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !